NKRI, ‘NMRI’, ‘Supremasi Hukum’, dan 2024

Negara Kesatuan Republik Indonesia harus tetap menjadi NKRI, tidak boleh menjadi ‘Negara Mafia Republik Indonesia’ (‘NMRI’). Supremasi hukum tidak boleh berubah menjadi Supremasi Mafia Hukum..! 

Menjelang Pemilu tahun politik 2024 ini, pendidikan politik rakyat harus segera ditingkatkan. Baik secara kuantitas apalagi kualitas. Rakyat perlu dibukakan mata dan dibangkitkan kesadaran politiknya. Karena berdasarkan amanat UUD'45, rakyatlah pemegang kedaulatan tertinggi atas bangsa dan negara Republik Indonesia. Bukan seperti yang kita rasakan akhir-akhir ini. Kedaulatan telah berpindah ke tangan para penguasa politik dan ekonomi. Roda pemerintahan terkesan kuat sepenuhnya dikendalikan oleh mereka, para Oligark.

Rakyat sebagai pemilik sah negara ini, seakan kehilangan kedaulatannya. Bahkan terhadap diri mereka sendiri pun sudah nyaris tak berdaulat. Kehidupan rakyat berikut kedaulatannya, telah berada sepenuhnya dalam genggaman para penguasa politik dan ekonomi di negeri ini. Penguasa dimaksud adalah para oknum pejabat korup di wilayah eksekutif dan legislatif. Mereka ini, bersama para konglomerat hitam berada dalam satu lingkaran pelaku kejahatan politik, ekonomi, dan sosial budaya.

Gabungan kekuatan inilah yang sering disebut sebagai kekuatan OLIGARKI. Suatu persekutuan jahat antara penguasa politik yang korup dengan para konglomerat hitam yang tak lain adalah para Mafia Ekonomi. Untuk memuluskan capaian politik-ekonomi mereka, konstitusi negara pun menjadi ranah penjarahan mereka. Hingga lahirlah istilah Mafia Konstitusi. Menguasai ranah konstitusi adalah pilihan strategis mereka untuk mempertahankan kekuasaan dan pengendalian jalannya roda dan tata kelola kehidupan bernegara di negeri ini. Dengan demikian zona nyaman kehidupan mereka terjaga abadi dan aman selamanya.

Secara sistemik kekuasaan mereka bangun dengan menggunakan dan berlindung di balik benteng ‘SUPREMASI HUKUM’. Lewat penempatan Hukum sebagai panglima (SUPREMASI HUKUM) inilah mereka berhasil membangun kerajaan Oligarki dengan sempurna. Karena perangkat hukum, hampir sepenuhnya mereka telah kuasai (baca: dibeli). Kehidupan berkonstitusi pun dijalankan berdasarkan juklak dan juknis kerajaan OLIGARKI yang ‘mewajibkan’ hukum selalu tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Sehingga dalam era ‘SUPREMASI HUKUM’ masa kini, eksistensi dan kekuasaan yang justru menjadi sangat super adalah para penegak hukumnya sebagai kepanjangan tangan penguasa kerajaan Oligarki . Sementara lembaga hukum dan Hukum itu sendiri, tak pernah berada dalam ruang yang SUPER dan berwibawa sebagai alat penegak keadilan.

Tidaklah mengherankan bila dalam penyelenggaraan kehidupan berkonstitusi ala mereka ini, amanat UUD'45 Pasal 33, sama sekali tak terjamah dan terasakan sedikitpun kehadirannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara akhir-akhir ini. Secara substansial, sila ke-2 (dua) Pancasila, Perikemanusiaan yang adil dan beradab, seakan tak pernah ada. Apalagi berharap sila ke-5 (lima) terasakan hadirnya dalam kehidupan sehari-hari mayoritas rakyat Indonesia. Sehingga sering suara sisnis terdengar di ruang publik bahwa Ketuhanan yang Maha Esa telah diganti menjadi Keuangan yang Maha Kuasa.

Tragisnya, suasana kehidupan seperti ini sangat terasakan nyata hadir di tengah kehidupan masyarakat dalam era Reformasi. Kaum ‘Reformis’ yang dulu sangat santer mengecam perilaku Orde Baru yang berstempel serba buruk, belakangan ini mereka malah menjelma tampil dengan cara dan gaya yang justru terkesan sangat ‘hyper Orde Baruis’. Atau Orde Baru gaya baru yang terbukti lebih buruk dari aslinya. Halmana berawal, ketika secara berjamaah mengamini secara kompak dan ‘damai’ perubahan UUD 1945 yang digantikan dengan UUD 2002. Suatu langkah politik kenegaraan yang dinyatakan benar dan yang konon mereka harus lakukan ‘demi kebaikan’ bangsa dan negara ini ke depan. Hasilnya memang baik, baik untuk para penguasa kerajaan oligarki.

Akankankah kondisi seperti ini dibiarkan berlanjut? Khususnya penghianatan terhadap amanat UUD'45 Pasal 33. Karena lewat jendela penggebirian Pasal 33 UUD’45 inilah, kerusakan dunia perekonomian nasional, bangunan dan kultur politik nasional, bangunan dan tatalaksana hukum di dunia konstitusi nasional, mengalami pembusukan. Institusi negara berangsur keropos dan mirisnya berakibat membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara ke depan. Yang pasti, Indonesia hari ini bukanlah Indonesia sebagaimana yang diimpikan dan diharapkan oleh para pendiri bangsa, termasuk sang proklamator, Bapak Bangsa Indonesia, Soekarno-Hatta.

Masalah mendasar di atas inilah yang seharusnya kita ajukan sebagai pertanyaan pokok kepada para calon Presiden dan Wakil Presiden dalam kontestasi Pilpres 2024. Tentunya juga terhadap para calon legislator dalam Pileg 2024. Tanpa jawaban yang pasti dari para calon Presiden dan Wakil Presiden berikut para calon Legislator Pemilu 2024, perhelatan akbar (Pemilu 2024) yang bakal menguras dana, daya, pikiran dan jiwa kita yang sangat mahal ini, hanyalah merupakan kerja penuh kesia-siaan belaka. Karena yang bakal terjadi hanyalah menggumpalnya gerakan politik yang berorientasi hanya pada PERGANTIAN bukan PERUBAHAN.

Tanpa kejelasan arah dan tujuan, rakyat hanya dijerumuskan untuk terjebak dalam upaya pergantian pelaku semata dengan menyodorkan 3 nama yang dipopulerkan; Ganjar, Prabowo, atau Anies? Sementara perubahan yang diharapkan, lewat pertanyaan; bagaimana, seperti apa, dan dengan cara apa yang akan dilakukan oleh para kandidat presiden untuk mewujudkan PERUBAHAN, tak pernah diangkat ke permukaan sebagai isu sentral. Karena yang dirancang oleh para Oligark penguasa negeri ini, memang hanya sebatas PERGANTIAN, sementara PERUBAHAN cenderung ditabukan!

Sudah saatnya rakyat (sebagai stake holder inti) disadarkan untuk bangkit menuntut kejelasan arah penyelenggaraan negara yang berpihak pada kepentingan rakyat banyak. Dengan langkah awal, agar kekayaan yang dimiliki oleh bumi dan alam Indonesia, sepenuhnya dikuasai negara untuk digunakan memberi kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia. Bukan untuk memperkaya orang per orang maupun untuk korporasi milik individu-individu yang selama ini dikenal sebagai para konglomerat hitam.

Negara Kesatuan Republik Indonesia harus tetap menjadi NKRI, tidak boleh menjadi ‘Negara Mafia Republik Indonesia’ (‘NMRI’). Supremasi hukum tidak boleh berubah menjadi Supremasi Mafia Hukum..! Kita wajib menjadikan Pemilu/Pilpres 2024 sebagai wahana dan sarana menghadirkan PERUBAHAN, bukan hanya sekadar ajang usreg seputar PERGANTIAN… Capres-Cawapres si A,B, atau C.

Agar pada lima tahun mendatang, tidak berakhir dengan nyanyian duka jutaan rakyat yang semakin miskin. Karena telah berlanjutnya pemiskinan negara oleh penyelenggara yang tetap memperkaya mereka yang semakin kaya, dan tetap membiarkan mayoriras rakyat hidup dalam kemiskinan… menuju kemiskinan ekstrim. Semoga tidak terjadi, rakyat harus cerdas dan bersatu…melawan!

Yang kita inginkan: perubahan,.
Perubahan.
Bukan pergantian.

Perubahan” - Erros Djarot