Politik Dinasti, Racun Peradaban Politik Nasional

Politik Dinasti dan Dinasti Politik harus dan wajib ditiadakan!

Ilustrasi: Muid/ GBN.top

Jelang Pemilu-Pilpres 2024, bursa pasar politik Indonesia ramai menawarkan dagangan figur para penerus ‘Dinasti Politik’ tingkat nasional. Ada 3 figur paling disorot yang dijajakan lewat Window display di bursa pasar politik kita hari ini. Nama yang muncul paling awal beredar di bursa pasar politik adalah Puan Maharani. Putri tercinta Ketua Umum PDIP Megawati yang mewakili ‘Dinasti Teuku Umar’.

Digelontorkan ke publik dengan kemasan label Calon Presiden (Capres). Berbagai kampanye untuk menaikkan minat publik pun, sempat secara intensif dilakukan sepanjang tahun 2022 hingga bulan pertama tahun 2023. Hasilnya tidak memuaskan. Nilai jual yang tinggi direspon pasar tanpa gairah. Minat publik lewat hasil survei dari berbagai lembaga polling, sangat rendah. Untuk menembus angka 3% saja, terasa sangat berat, alias sudah ngos-ngosan.

Gagal menjual dengan ‘label capres’, ditawarkanlah jualan Puan lewat ‘label cawapres’. Tapi malang, meja transaksi jual beli tiket capres-cawapres pun, menutup kemungkinan ini. Karena nama Puan Maharani tidak masuk dalam agenda pembicaraan di setiap meja transaksi yang tersedia. Puan Maharani sebagai pengusung label capres/cawapres melalui pintu ‘Dinasti Teuku Umar’ pun, belakangan ini lampu jualannya kian meredup, dan nyaris padam sepenuhnya.

Nama berikut yang muncul adalah Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang mewakili label ‘Dinasti Cikeas’. Penerus Dinasti Cikeas ini dikemas dan ditawarkan ke publik dengan label capresnya kubu Demokrat. Namun, dikarenakan partai sang ayah tidak cukup besar perolehan suaranya dalam Pemilu 2019, AHY dipaksa untuk menggaet partai lain. Tentunya untuk memenuhi persyaratan presidential threshold 20%. Namun sayang disayang, AHY tidak berhasil menggaet, sebaliknya ia malah digaet oleh saudagar politik Surya Paloh, yang sudah mengantongi nama Anies Baswedan sebagai calon Presiden versi kubu NasDem.

AHY yang diiming-imingi kursi cawapres oleh Surya Paloh selaku Ketua Umum sekaligus pemilik partai NasDem, langsung menerimanya dengan penuh semangat. Bulan madu politik Anies-AHY pun sempat menghiasi halaman berita di seluruh media nasional. Berjalan cukup lama bahkan sempat tampil ‘mesra’ dihadapan puluhan ribu massa pendukung partai NasDem yang menggelar perhelatan khusus di Stadion Utama Gelora Bung Karno.

Ribuan massa pendukung dan Pak Ketua Umum partai NasDem pun sempat beraksi membuka tangan lebar-lebar menyambut pasang Anies-AHY sebagai duet calon pemimpin nasional masa depan. Seluruh rakyat di negeri ini pun terhipnotis, sangat yakin Anies dan AHY akan tampil pada Pilpres 2024 sebagai capres dan cawapres mewakili koalisi NasDem, PKS, Demokrat. Tak seorang pun ada yang berpikir lain kecuali yakin Anies dan AHY akan segera diumumkan sebagai pasangan capres/cawapresnya Koalisi Perubahan pimpinan Surya Paloh.

Tapi bagai sambaran petir di siang bolong, dalam sekejap AHY terpental dari pasar politik Pilpres 2024. Posisinya digantikan oleh Cak Imin, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Partai Demokrat meradang. Bos dan pemilik partai Demokrat, SBY, tak dapat menyembunyikan kekecewaan dan amarah yang terpendam. Sangat wajar karena merasa begitu dilecehkan. ‘Perceraian of the month’ yang sangat menyakitkan ini, menandai pecahnya kongsi politik antara NasDem-Demokrat.

Sebagai akibat AHY pun menjadi sangat sulit untuk mendapatkan slot kursi cawapres pada Pilpres 2024. Bila toh Demokrat merapat dan bergabung di barisan Bantengnya Megawati, nuwun sewu Mas AHY, sudah ada sederet nama potensial yang telah antri tiket cawapres pendamping Mas Ganjar. Dengan demikian pupus sudah harapan AHY untuk memperkokoh bangunan Dinasti Cikeas melalui penunjukan dirinya sebagai cawapres dalam Pilpres 2024 mendatang.

Tinggal satu nama, Gibran, putra sulung Presiden, penerus ‘Dinasti Jokowi’ (Solo) yang masih berpeluang tampil untuk memenangkan tiket cawapres pada pilpres mendatang. Karena ada dua bos partai besar, PDIP dan Gerindra yang masih mencari sosok calon Wakil Presiden. Tentunya untuk disandingkan dengan capres dari kedua partai besar tersebut, Ganjar atau Prabowo. Bacaan publik, kedua Ketua Umum ini terkesan sangat kuat masih menunggu keputusan apa yang akan diambil Mahkamah Konstitusi (MK). Tentunya menunggu, apakah MK setuju atau menolak permohonan perubahan batas umur minimum bagi capres – cawapres pada Pemilu 2024 mendatang.

Bila MK mengabulkan, pintu terbuka bagi Gibran untuk diajukan menjadi cawapresnya Ganjar atau Prabowo. Hanya pintu NasDem yang tertutup, selain sang ayah sendiri pasti melarang Gibran untuk mendekat ke pintu NasDemnya Surya Paloh. Di sisi lain, Ganjar yang belakangan ini semakin percaya diri, tidak begitu menampakkan hasrat yang menggebu untuk menggaet Gibran. Kecuali tentunya, bila para Bos besar di Teuku Umar menghendakinya.

Sementara Prabowolah yang hingga saat ini masih tampak sekali sangat berharap untuk dapat menggaet Gibran. Tentunya dengan harapan agar restu dan bantuan dari ayahnya Gibran tumpah ruah sepenuhnya untuk memenangkan partai Gerindra. Karena logikanya, sang putra yang mendampingi Prabowo pastilah tak akan dibiarkan untuk kalah dalam pertarungan pilpres di arena Pemilu 2024 nanti.

Lakon drama ‘Menanti Godot’, karya Samuel Beckett, atau dalam pentas panggung politik Indonesia menjadi lakon ‘Menanti Gibran’, adalah tragedi drama politik Indonesia yang mencatat akan hilangnya kepercayaan diri dan kematangan diri dari seorang calon pemimpin masa depan bangsa ini pada peristiwa Pemilu-Pilpres 2024. Sangat lucu, absurd, tapi nyata. Menanti dan terus menanti tanpa kepastian. Hingga malah hadir sebagai bitter comedy (komedi pahit) di atas panggung politik nasional Pemilu-Pilpres 2024.

Belum lagi bicara soal Dinasti Poltik lewat kelakuan seorang konglomerat, Ketua Umum partai merangkap Bos pemilik partai yang Istri dan ketiga anaknya semua maju sebagai caleg DPR RI pada Pemilu 2024 ini. Sangat memilukan dan tanpa malu, plus miskin etika, begitulah kenyataannya. Untuk itu saya jadi ingat apa kata seorang bangsawan Inggris…Man without dignity is not a man at all…! Terjemahannya? Kira-kira begini…manusia tanpa harga diri, bisa digolongkan sebagai bukan manusia lagi!

Oleh karenanya, wajib dan penting untuk dipertanyakan; Perlukah Dinasti Politik dan politik Dinasti diberi ruang untuk hidup dan berkembang di negeri ini? Bermanfaat, atau sebaliknya…hanya akan menjadi racun sangat berbisa bagi peradaban politik di negeri ini. Maka Politik Dinasti dan Dinasti Politik harus dan wajib ditiadakan! Tentunya disertai ajakan kepada para pemimpin dan para petinggi partai di negeri ini…agar segeralah kembali ke jalan yang benar…jalan menuju cita-cita revolusi Indonesia 1945!

Baca kembali secara seksama, pahami setiap kata dan makna kata dalam setiap alinea Pembukaan UUD 1945. Jiwai, resapi, maknai amanat yang tersurat dan tersirat pada setiap pasal dalam UUD 1945… dan jalankan! Menolak dan melupakan pesan ini, niscaya bencana itu akan datang…pada saatnya!


Pertamakali diterbitkan di: https://gbn.top/index.php/berpikir-merdeka/politik-dinasti-racun-peradaban-politik-nasional

Yang kita inginkan: perubahan,.
Perubahan.
Bukan pergantian.

Perubahan” - Erros Djarot