Jadikan 2022 Tahun Kesadaran Rakyat!

Memasuki awal tahun baru 2022, sudah waktunya rakyat dibangunkan. Agar bangun dalam kesadaran tinggi bahwa negeri ini dan seisinya, sepenuhnya adalah milik rakyat. Milik seluruh rakyat Indonesia. Bukan milik Presiden, bukan milik para menteri, bukan milik para petinggi negara, bukan pula milik Ketua Umum Parpol, Pimpinan DPR/MPR/DPD, dan apalagi kelompok oligark!

Presiden pun, hanyalah seorang warga negara yang dipercaya dan ditugasi rakyat yang memberi mandat kepadanya (lewat pemilu) untuk menjalankan tugas penyelenggaraan negara sebagai Kepala Pemerintah sekaligus Kepala Negara (sesuai petunjuk UUD’45). Dalam menjalankan tugasnya membangun negeri berikut peradabannya, mimpi seorang presiden seharusnya sejalan dan terbangun dari kumpulan mimpi-mimpi rakyatnya tentang negeri ini dan masa depannya. Agar tidak terjerumus ke dalam praktik membangun legacy pribadi semata. Sebagaimana sering terjadi pada sejumlah penguasa tertinggi yang terhimbas demam narsisme-megalomania.

Seorang presiden yang baik sekalipun, bisa saja tergelincir ke dalam kubangan megalomania yang memabukkan ini. Biasanya dikarenakan ulah para penjerumus yang tak lain adalah para pembisik di lingkaran satu penguasa. Dalam kaitan Indonesia, presiden digiring untuk rela meninggalkan tugas pokok paling utama yang diamanatkan oleh konstitusi (UUD’45), yakni; kewajiban mencerdaskan bangsa agar mampu menghapus pemiskinan yang memiskinkan sehingga berkemampuan menghadirkan Keadilan Sosial demi terwujudnya kesejahteraan umum bagi seluruh rakyat Indonesia. Secara sistemik para pembisik dengan agenda terselubungnya, gencar melakukan hal ini.

Seharusnya, siapa pun yang memimpin negeri ini, wajib menuntaskan sejumlah tugas yang merupakan amanat konstitusi paling utama dan mendasar ini. Kualitas kerja menuntaskan amanat mendasar inilah yang harus menjadi rujukan utama bagi rakyat Indonesia ketika menilai sukses dan tidaknya satu periode pemerintahan. Penilaian objektifnya sangat tergantung pada jawaban; sejauh mana suatu pemerintahan, siapa pun presidennya, telah menjalankan amanat Undang-Undang Dasar ‘45 secara murni dan konsekuen?! Setidaknya bergerak mendekati pemenuhan pelaksanaan tugas dari amanat dimaksud.

Tugas menuntaskan amanat paling mendasar inilah yang seharusnya menempati skala prioritas paling utama bagi seorang Kepala Pemerintahan/Kepala Negara di negeri ini, siapa pun dia. Sementara membangun berbagai pembangunan sebagai kelengkapan untuk melengkapi kebutuhan hidup berbangsa dan bernegara yang lebih baik, walau sangat penting, tetap saja harus dipahami sebagai kinerja dengan kategori sebatas kegiatan penunjang yang orientasinya semata hanya untuk memperkuat penuntasan tugas utama.

Melalui penjabaran di atas, apakah kerja besar Pak Jokowi yang telah berhasil membangun banyak proyek infrastruktur; jalan, jembatan, bandara, pelabuhan…dan lain-lain, tidak dinilai sebagai kinerja yang perlu diacungi jempol? Menjawab hal ini sangat mudah. Berbagai fasilitas publik yang telah beliau bangun dan manfaatnya sangat terasa mempercepat jalan menuju kian terbukanya pintu kesejahteraan umum yang semakin lebar, tentunya perlu kita berikan acungan dua jempol. Sebaliknya, bila perluasan bentangan infrastruktur kehadirannya justru lebih dirasakan mempercepat perluasan jaringan dan kemudahan para pemodal besar di pusat untuk menguasai perekonomian daerah, hal inilah yang perlu diperhatikan dan diwaspadai secara jeli.

Sebagai contoh cerita sukses kasus pembangunan yang menarik untuk dicermati dan disikapi secara kritis adalah keberhasilan luar biasa atas penertiban dan pembaharuan perwajahan stasiun kereta dan layanan di kereta apinya sendiri. Sungguh wajib kita berikan acungan jempol mendapatkan stasiun kereta api yang bersih, tertib, dan tertata rapih. Hal yang sama terasakan bila kita berpergian dengan kereta api yang di setiap gerbong memberikan kenyamanan luar biasa. Dibandingkan sepuluh tahun yang lalu, perbedaan tampilan, kenyamanan, dan kondisi keseluruhannya terasa bagaikan bumi dan langit

Namun bila kita mau lebih jeli dan lebih jauh menyoal, dibalik sukses besar dan kemegahan yang tak terbantahkan, ada sesuatu yang terasa hilang. Ketika berada di stasiun yang begitu cantik, bersih, dan indah, tiba-tiba sikap kritis kita tergoda merindukan kehadiran Mbok Kerto, Mpok Leha, Bang Jiung dan kawan-kawan, berikut rombong jajanan dan pojok warungnya yang dulu sangat aktif meramaikan suasana kegiatan ekonomi kerakyatan. Eksis di berbagai sudut, di dalam maupun di luar stasiun, .

Sekarang para pedagang kecil ini, seluruhnya tersingkir dan tergantikan oleh deretan toko dan resto yang bersih dan keren dengan merek dagang yang itu-itu saja. Luar biasanya, toko dan resto yang berderet tersebut semuanya milik para pengusaha konglomerat  seperti juga yang kita temui di  seluruh pelosok tanah air. Alhasil dunia retail belakangan ini, hampir sepenuhnya telah berada di tangan mereka. Rakyat biasa pengusaha lokal bermodal kecil pun tergerus habis, dan tamatlah riwayat hidupnya.

Dari contoh kasus megahnya pembangunan stasiun ini, dan belakangan bahkan merambat ke setiap tempat persinggahan transportasi darat, laut, dan udara, maka  menjadi sangat perlu kita pertanyakan; bagaimana dengan rencana presiden membangun sejumlah mega proyek? Konon pembangunan akan dilakukan di sejumlah wilayah negeri ini, dan utamanya di sekitar wilayah yang berdekatan dengan calon Ibu Kota baru di Kalimantan Timur.

Pertanyaannya; akankah kesejahteraan umum menjadi orientasi dasar dan tujuan utama dari rencana pembangunan ini? Jaminan apa yang bisa diberikan kepada rakyat bahwa pembangunan mega proyek yang direncanakan pada akhirnya tidak hanya akan  memperbesar kerajaan bisnis para pengusaha yang sudah besar (baca: para konglomerat)?  Kepastian ini penting agar upaya menyudahi  cengkraman kuku bisnis mereka menjadi lebih kuat dan lebih dalam di seluruh kegiatan ekonomi di negeri ini, dapat dibaca, diikuti, dan dirasakan oleh mayoritas rakyat setempat dan rakyat Indonesia seluruhnya.

Dengan tidak selalu sejalannya antara harapan-perencanaan dan kenyataan-hasil akhirnya, tidaklah berlebihan bila selanjutnya kita secara sadar dan cerdas mengkritisi masalah perpindahan ibu kota. Apalagi dengan terkuaknya rencana peresmian Ibu kota baru harus dilaksanakan pada 2024 mendatang. Apa urgensinya? Padahal para wakil rakyat saja secara resmi belum memberi lampu hijau. Undang-undang yang merestui pembangunan Ibu kota belum ada. Sementara pembangunannya berjalan terus tanpa peduli. Wajar bila kemudian muncul pertanyaan; pindah ibu kota ini maunya rakyat atau siapa? Jangan sampai hanya semata demi terpatri dan terbangunnya sebuah legacy!

Belum lagi pertanyaan usil; apa ya presiden terpilih hasil Pemilu 2024-2029 bakal setuju dan harus mau nantinya untuk hanya disibukan dengan urusan perpindahan ibu kota dan kelengkapannya di sepanjang masa kerja periode pertamanya sebagai presiden terpilih? Setiap calon presiden pada Pemilu Pilpres 2024-2029 yang berakal sehat, berani, dan berkarakter serta bersikap lugas, akan berpikir ulang untuk mau menerimanya. Yah, kita tunggu dan lihat saja seberapa besar nyali para Capres 2024-2029 kita nanti!

Sudah waktunya di awal tahun 2022 ini rakyat harus dibangunkan. Bangun dalam kesadaran agar dapat dengan kompak merapal cerdas sebuah pernyataan; "Pembangunan ibu kota yang megah hanya akan terasa indah dan barokah bila kesejahteraan umum dan pencerdasan bangsa, terlebih dahulu terbangun dengan megah..!” Bila yang terjadi sebaliknya, sebaiknya nyatakan dengan sadar dan cerdas; buat apa buru-buru pindah?

Sebaiknya konsentrasi sepenuhnya pada pemulihan ekonomi rakyat pasca pandemik. Persiapkan perhelatan demokrasi 2024 dengan kualitas (rakyat) yang lebih baik. Berantas tuntas  korupsi dan kolusi. Tegakkan keadilan sosial, politik,dan ekonomi. Dengan demikian, legacy itu pastilah akan berdiri tegak dengan sendirinya! Sekali pun 2024, Jakarta masih harus menjadi Ibu Kota!

Yang kita inginkan: perubahan,.
Perubahan.
Bukan pergantian.

Perubahan” - Erros Djarot