Mas Pipin, Beristirahatlah dalam Damai

Subuh dini hari, Senin, 28 Februari 2022, berita meninggalnya Arifin Panigoro, Mas Pipin, saya terima dengan rasa duka yang sangat dalam, walau masih sulit menerimanya sebagai suatu kenyataan. Kepastian akan berita duka ini saya terima langsung dari Mbak Isis, istri almarhum. Seketika itu pula, dalam benak ini seluruh rekaman peristiwa persahabatan yang telah terjalin sekian lama satu demi satu bermunculan.

Peristiwa yang pertama muncul dalam kilas balik kenangan adalah pertemuan sangat mengesankan saat Mas Pipin meminta saya menemuinya pada awal 1998.

Karena yang akan dibicarakan masalah yang saat itu masih tergolong super-sensitif, saya menawarkan diri untuk menemuinya di rumah almarhum di bilangan Jeruk Purut, Jakarta Selatan.

Gerakan politik rakyat

Saat tiba di kediamannya, saya yang baru saja sebentar duduk bersama almarhum di sofa ruang tamunya sangat dikagetkan ketika tiba-tiba ia berteriak memanggil istri dan anak-anaknya. Mereka diminta untuk menghampiri kami yang sedang berdua terlibat pembicaraan penting.

Ketika istri dan anak Mas Pipin bermunculan di hadapan kami, langsung saja almarhum memandang ke arah saya dan berkata dengan nada penuh kepastian, ”Silahkan Mas Erros tanyakan langsung ke mereka, apa mereka sudah siap dan rela melepas saya untuk ikut berjuang melawan rezim Orde Baru?!”

Atas permintaannya ini, saya pun menjadi kikuk dan merasa tidak enak telah membebani keluarga jadi terlibat ke dalam urusan politik.

Kesaksian dari keluarga ini secara demonstratif ia lakukan sebenarnya untuk menjawab pertanyaan saya, apakah keputusan beliau telah sepengetahuan dan mendapat restu keluarga untuk ikut aktif dalam gerakan politik rakyat anti-rezim Orde Baru.

Sebab, pada awal pembicaraan saya sengaja tekankan bahwa risiko yang akan diambil bisa berujung pada kehilangan harta dan bahkan nyawa. Rupanya, menghadirkan anggota keluarga dalam pertemuan khusus tersebut merupakan jawabannya. Selanjutnya kami pun berjabat tangan, saling berpelukan, dan kepadanya saya bisikkan…, ”Welcome to the club!”

Pertemuan pertama itu berlanjut dengan pertemuan almarhum dengan Megawati Soekarnoputri. Berlokasi di Deplu Raya, rumah saya yang saat itu masih dalam posisi sebagai pendamping kerja politik Megawati, almarhum datang dengan membawa sebuah koper kecil berisikan ”logistik” seadanya sebagai tanda keseriusan komitmennya untuk bergabung dalam gerakan.

Maka, pada saat itulah kesiapan almarhum untuk melebur diri ke dalam barisan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) berawal. Bantuan pemikiran, perluasan jaringan, dan support logistik yang diperlukan pun menggelinding dan mengalir dari diri Arifin Panigoro, seorang pengusaha yang masih memiliki idealisme dan rasa cinta pada negerinya.

Almarhum pun dikenal sebagai figur sentral yang menginisiasi terbentuknya perkumpulan (politik) yang dikenal saat itu sebagai kelompok ”Cowboy Senayan”. Anggotanya terdiri dari para aktivis andal dan sejumlah anggota DPR yang pro-rakyat dan anti-rezim otoriter Orde Baru.

Seingat saya, sederet nama berikut merupakan tim inti yang aktif dalam kumpulan Cowboy Senayan: Zulfan Lindan, Hatta Rajasa, Ade Komarudin, Chandra Wijaya, Didik Supriyanto, Alvin Lie, Bachtiar Hamsah, Hamdan Zulva, dan lain-lain, berikut sejumlah aktivis ITB, Andi Sahrandi, Joni, Ipin, dan beberapa nama yang lain.

Almarhum pulalah yang menginisiasi pertemuan khusus di Deplu Raya antara Megawati dan pihak Amin Rais, didampingi Abdilah Toha dan Mudrik (PPP) Solo, yang kemudian melahirkan sebuah produk politik gerakan bersama yang dikenal dengan sebutan Mega Bintang. Dan, di kediaman lain almarhum di Jalan Jenggala pulalah, para aktivis dari berbagai elemen gerakan berkumpul dan melancarkan gerakan perlawanan politik hingga giat melancarkan demo turun ke jalan.

Puncak perlawanan terjadi dengan pengerahan massa ke gedung DPR yang berhasil memaksa Pak Harto mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden yang telah selama tiga dekade berkuasa.

Aktivis sosial kemanusiaan

Setelah proklamasi komunitas gerakan yang berhasil mengibarkan bendera kemenangan gerakan Reformasi ’98, almarhum terus melakukan upaya yang melebar ke sayap gerakan ”Rumah Jenggala”.

Kegiatan dari komunitas Posko Jenggala ini adalah gerakan sosial kemanusiaan yang sangat intens dan aktif membantu korban bencana alam di berbagai pelosok Tanah Air. Mulai dari bencana tsunami Aceh, hingga sekarang, setiap terjadi bencana alam, Posko Jenggala merupakan komunitas relawan yang selalu berada di garda depan.

Setelah mundur dari lingkaran politik praktis di bawah naungan PDI-P karena satu dan lain hal, almarhum tetap berkiprah dalam politik kenegaraan dan sejumlah kegiatan sosial budaya dan kemanusiaan yang bermuara pada upaya mewujudkan cita-citanya yang ingin melihat dan menghadirkan Indonesia yang lebih baik.

Dan, atas kiprahnya yang memberi dukungan penuh pada saat Joko Widodo (Jokowi) mengajukan diri sebagai calon presiden hingga resmi terpilih sebagai presiden, maka dalam term kedua pemerintahan Jokowi, almarhum diberi kepercayaan untuk duduk sebagai salah satu anggota Dewan Penasihat Presiden hingga akhir hayatnya.

Selamat jalan sobat, beristirahatlah dalam damai dan cinta Sang Maha Kuasa. Amin.

Yang kita inginkan: perubahan,.
Perubahan.
Bukan pergantian.

Perubahan” - Erros Djarot