Oligarki 2024: Rakyat Dilarang Cerdas!

"Biarkan rakyat yang memiliki, asal kami yang tetap menguasai!” Begitulah mottonya para oligark.

Mempelajari dan menelaah situasi dan kondisi hari ini, mendorong saya bercuriga dan berprasangka kurang baik: jangan-jangan memang ada yang sangat berkepentingan membuat rakyat selalu berada dalam kondisi miskin dimensional. Mulai dari miskin informasi, miskin teknologi, miskin pengetahuan, miskin pendidikan, miskin pemikiran, miskin analisa, miskin pilihan, hingga layak untuk masuk dalam kategori miskin dimensional berkelanjutan.

Kondisi semacam ini hanya mungkin terjadi bila ada mesin politik yang bergerak rutin untuk melakukan pemiskinan struktural dan kultural. Dengan demikian rakyat dapat dengan mudah digelapkan dan bahkan dihilangkan hak-hak perdatanya di satu sisi; dan di sisi lain menjadi mudah pula dijadikan objek pidana (dikriminalisasi-dipidanakan). Pemiskinan sistemik serapi ini hanya bisa dilakukan oleh mereka yang berada di lingkaran kekuasaan politik dan ekonomi. Karena kolaborasi antara dua kekuatan raksasa inilah (oligarki), kontrol terhadap rakyat dan jalannya penyelenggaraan negara dapat dilakukan.

Andai rakyat menjadi sangat terdidik, berpengetahuan, tercukupi informasi, hingga mampu jernih berpikir dan menganalisa, dengan sendirinya akan terbuka lebar pilihan. Rakyat menjadi tahu mana pembenaran dan mana kebenaran; sehingga para penguasa politik dan ekonomi (kaum oligark) tidak bisa seenaknya mengatur segalanya semaunya. Rakyat yang melek pengetahuan, melek informasi, melek teknologi, pasti mampu menghadirkan pilihan hidup, tujuan hidup dan kualitas kehidupan yang mereka inginkan dalam membangun masa depannya.

Dipastikan kerajaan oligarki pun, kekuasaannya akan semakin tergerus dan melemah. Mereka tidak bisa lagi berperan dan bertindak sebagai penentu dan regulator tunggal kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karenanya, menggiring masyarakat untuk tetap hidup dalam kubangan kegelapan informasi, pengetahuan, gelap arah dan tujuan masa depan kemana langkah bangsa dan negara ini akan dibawa, merupakan yang mereka akan pertahankan sekuat tenaga.

"Biarkan rakyat yang memiliki, asal kami yang tetap menguasai!” Begitulah mottonya para oligark. Dan untuk melanggengkan eksistensi dan kekuasaan mereka, disodorkanlah supremasi hukum (ala mereka) sebagai penentu tertinggi dalam mengendalikan kehidupan berkonstitusi di republik ini. Bersamaan dengan itu, penguasaan terhadap hampir semua institusi hukum, perangkat hukum, berikut para penegak hukumnya, sepenuhnya mereka kuasai (baca: beli). Dengan demikian mereka dapat leluasa mendesain dan menentukan pola, cara, dan aturan bermain di wilayah kehidupan berkonstitusi.

Tidak mengherankan bila mafia hukum sebagai ujung tombak pengaman berbagai bisnis ekonomi-politik mereka, belakangan ini bermunculan dan aktif di mana-mana beroperasi. Dalam melicinkan jalan mencapai tujuan ekonomi-politik para Oligark, aparat negara dan aparat keamanan pun, diubah fungsi menjadi pasukan penghancur benteng-benteng pelindung hak-hak rakyat. Terbukti, hampir di setiap aspek kehidupan hingga di lembaga pengadilan negara yang menangani sengketa antara rakyat melawan pemodal besar (mafia), kemenangan hampir seluruhnya selalu dimenangkan oleh para penguasa ekonomi (mafia-oligark).

Di wilayah lembaga konstitusi pun mereka beroperasi dengan rapi, tertata, dan sangat efektif. Dalam kasus mendesain penyelenggaraan Pemilu misalnya, lewat alasan pertimbangan ekonomis, ruang pilihan mereka persempit. Angka presidential threshold dalam Pemilu-Pilpres diperbesar. Sehingga atas nama konstitusi, calon yang bisa disodorkan ke publik untuk dipilih, paling banter hanya mencapai 3 calon. Selanjutnya Pilpres pun direkayasa untuk hanya berjalan satu putaran. Calon pun menjadi hanya cukup 2 dari pilihan sekian ratus juta rakyat yang tersedia. Itu pun bukan lagi pilihan rakyat, bahkan bukan juga pilihan partai, tapi direduksi menjadi pilihan Ketua Umum partai (pemilik partai) sepenuhnya.

Dalam permainan ini, sistem satu orang satu suara dalam sistem proporsional terbuka diberlakukan. Perebutan kursi lewat suara rakyat yang haus dan ‘harus’ dibeli, membuat perhelatan Pemilu Legislatif (PILEG) dan Pemilu Presiden (PILPRES) pun menjadi sangat mahal. Miliaran, puluhan miliar, ratusan miliar, hingga triliunan merupakan angka rupiah yang pasti terhambur di pasar politik Pemilu di negeri ini.

Nah, siapakah yang mampu menghamburkan-hamburkan uang dengan jumlah sedemikian besarnya? Untuk setiap calon legislator di kursi tingkat DPRD Kabupaten/Kota saja, diperlukan dana sedikitnya masing-masing calon harus menyediakan ongkos pemenangan sekitar Rp1 miliar sampai dengan Rp3 miliar. Untuk kursi di DPRD tingkat provinsi, sekitar Rp3 miliar sampai dengan Rp5 miliar; untuk tingkat DPR Pusat, sekitar Rp5 miliar sampai dengan Rp10 miliar atau lebih. Sedangkan untuk kandidat Calon Presiden, angka pemenangan menelan biaya yang jumlahnya melebihi Rp1 triliunan ke atas. Fantastis…gilaaaa!

Siapkah para calon merogoh kantong koceknya sendiri? Dipastikan, semakin tinggi biaya diperlukan, semakin pintu kantor para konglomerat, para oligark, para bandar-mafia ekonomi, bakal laris diketuk para calon yang mendambakan dukungan finansial. Sehingga yang sering terjadi, para pejabat negara hasil Pemilu banyak yang terlilit hutang (rawan korupsi), sementara para konglomerat hitam semakin besar, tambah kuat, dan tambah berkuasa mengatur segalanya, sebagaimana layaknya pemilik negara!

Rakyat-masyarakat yang cerdas intelektual-spritual-dan moral, melihat kenyataan ini tidak akan berilusi dan menghanyutkan dirinya lebih jauh terperosok ke dalam kegelapan dilusional. Tak akan lagi bermimpi akan terjadi PERUBAHAN, karena yang mampu dihadirkan lewat sistem Pemilunya para oligark hanyalah PERGANTIAN. Sebuah pemandangan kehidupan yang hanya akan menyuguhkan bangunan baru dengan sejumlah tampilan polesan yang serba baru, di atas pondasi, batasan, ruang gerak yang sama, yang dulu, yang itu-itu juga, dan milik dia-dia juga!

Sudah saatnya pertanyaan substansial diajukan ke rakyat bangsa ini ke depan; mau sebatas hanya berharap terjadinya PERGANTIAN dan selebihnya tetap sama, business as usual? Ataukah yang kita inginkan PERUBAHAN mendasar, di mana pergantian hanya merupakan bagian darinya? Minimal terwujudnya secara pasti sejumlah cita-cita REFORMASI, di antaranya; anti korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Hadirnya clean government- good governance, disertai penegakan hukum yang berkeadilan dan berperikemanusiaan.

Sementara pemberlakuan, penerapan, dan pelaksanaan secara murni dan konsekuen Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 33, utamanya ayat 2 dan 3, wajib menjadi pijakan dari gerakan menyejahterakan rakyat yang berkemakmuran dan berkeadilan. Di Tahun Politik inilah, harus menjadi Tahun Politik Perwujudan Kehendak Rakyat! Bukan kehendak penguasa oligarki dan konglomerat hitam! Dia lagi! Dia lagi! Cukuplah! Enough is enough!

Yang kita inginkan: perubahan,.
Perubahan.
Bukan pergantian.

Perubahan” - Erros Djarot