Paradigma Jelang 2024, Kaum Banteng Kembali ke Jatidiri!

Dengan kembalinya kaum Banteng pada jati dirinya yang sejati, dipastikan bakal terjadi perubahan paradigma yang mendasar memaknai Pemilu 2024. Dipastikan, rakyat tidak akan histeria dan saling gontok-gontokan untuk hanya menghadirkan PERGANTIAN (yang sudah 5 kali terjadi) tanpa hadirnya PERUBAHAN substansif yang diharapkan. 

Muid/ GBN.top

Semasa era perjuangan melawan rezim Orde Baru, organisasi wadah perjuangannya kaum Banteng, dikenal sangat kental dengan jiwa dan semangat progresif revolusioner. Etos hidup sebagai pemikir pejuang kerakyatan, secara ideologis memilih mempertegas sikap anti Kapitalisme (baca: Konglomeratisme), anti feodalisme, dan pemuliaan terhadap liberalisme-individualisme. Juga dengan tegas memilih Nasionalisme Indonesia yang bercirikan Kerakyatan, Kemanusiaan yang ber-Ketuhanan, sebagai pijakan eksistensi keberadaannya.

‘Paradigma’ dalam judul tulisan ini, hanyalah sebuah ajakan kepada kaum Banteng untuk kembali kepada jati dirinya. Yakni kaum Banteng yang sangat anti penindasan dan segala bentuk penjajahan di segala bidang kehidupan. Termasuk proses dan praktik pembodohan dan pemiskinan rakyat oleh penguasa penyelenggara negara. Oleh karenannya kaum Banteng pun dengan tegas menentang rezim otoriter Orde Baru. Sebuah rezim yang dianggap pro kaum ‘the have’ dan penindas kaum ‘the have not’. Penguasa Orde Baru pun diposisikan sebagai rezim yang sarat akan kronisme dan budaya Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme yang menyengsarakan rakyat dan memiskinkan negara.

Mengapa Paradigma dimaksud dalam tulisan ini tidak lebih hanya merupakan ajakan kepada kaum Banteng untuk kembali kepada jati dirinya? Tidak lain karena belakangan mulai terasakan terjadinya pergeseran nilai dalam tubuh dan jiwa komunitas kaum Banteng. Sangat terasakan memudarnya kepribadian, juga sikap pemihakan, berikut langkah dan arah perjuangan kaum Banteng yang seharusnya menjadi komunitas kelompok manusia terdepan dalam membela hak-hak rakyat kecil (baca: kaum Marhaen), dalam kewajiban melaksanakan amanat penderitaan rakyat.

Belakangan ini yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari tak berjalan sesuai dengan yang seharusnya. Muncul kesan yang cukup kuat, kaum Banteng sebagai kelompok penguasa sekarang ini, kehadirannya dirasakan hanya sebatas kumpulan manusia yang lepas dari cita-cita dan tujuan sebagai kaum Marhaenis. Dengan peran utamanya sebagai benteng, pembela, dan pejuang kaum Marhaen; agar rakyat Marhaen dapat hidup sejahtera dalam kemakmuran yang berkeadilan, dan dalam Keadilan yang berKemakmuran. Tragisnya, suara dan serudukan kaum banteng terhadap musuh-musuh-musuh rakyat sejati, dirasakan malah semakin sunyi senyap.

Bahkan sejumlah pengamat malah membubuhkan stempel pada tubuh partainya kaum Banteng sebagai komunitas penegak pilar kekuasaan Oligarki di negeri ini. Hal yang sesungguhnya hanya benar terjadi di lapisan elite kaum Banteng yang berada di wilayah kekuasaan. Tentunya sebagai penguasa yang hidup dalam lingkar budaya hedonisme, penikmat kekuasaan. Hanya sialnya, kelompok inilah yang lebih kuat dan kental mewarnai tampilan dan eksistensi kelompok kaum Banteng di wilayah politik nasional dan kerja penyelenggaraan negara belakangan ini.

Di sisi lain, kaum Banteng terdidik yang dulu sempat dikenal sebagai kumpulann manusia Pemikir-Pejuang, belakangan secara sinikal sering dikonotasikan sebagai kumpulan manusia Mikir-mikir dalam berjuang. Karena orientasi perjuangannya lebih berkutat di masalah untung rugi bagi diri dan kelompoknya. Identitas sebagai kelompok manusia pejuang dan bentengnya rakyat, tak lagi kental mewarnai. Bahkan terkesan kuat semakin terbentang tembok pemisah antara para kaum terdidik di kubu Banteng, dengan wilayah kehidupan kaum Marhaen. Jargon pejuang ‘wong cilik’ pun sering dipelesetkan menjadi komunitas ‘wong licik’. Penyebabnya yang mendasar adalah ketidak jelasan pemihakan atau telah terjadi disorientasi pemihakan terhadap amanat penderitaan wong cilik.

Satu hal yang mengagumkan adalah militanisme rakyat (baca: wong cilik) kepada simbol Banteng yang menjadi tumpuan harapan perubahan nasib mereka. Penghianatan elite terhadap mereka, dibalas dengan dukungan penuh semangat pada organisasi politik tempat mereka berlabuh menyandarkan diri dan harapan. Setidaknya situasi demikian ini bertahan dan bahkan makin menguat hingga sekarang. Pertanyaan yang kemudian muncul; bertahan hingga kapan? Terutama ketika saat rakyat bangun dari mimpinya dan bangkit dalam kesadaran menjalani kenyataan hidup yang kian terpuruk. Terpuruk karena terlucuti hak-haknya sebagai pemegang kedaulatan tertinggi di negeri ini. Sebagai pemilik yang sah atas tanah, air, bumi dan seisinya yang terbentang dari Sabang hingga Marauke, wilayah NKRI sepenuhnya, seutuhnya!

Dalam kaitan pesta demokrasi, Pemilu 2024, sudah mulai terasakan rakyat sudah mulai bosan akan hasil Pemilu yang hanya menghasilkan PERGANTIAN tanpa hadirnya PERUBAHAN substansial yang diharapkan. Realita ini tentu akan berdampak pada terbangunnya rakyat dari tidur panjangnya. Lama tertidur karena dinina-bobokan oleh penguasa elite negeri ini yang secara luarbiasa menyihir rakyat dengan sejumlah tebaran harapan. Sementara dalam realita pelaksanaannya, kebijakan yang diturunkan dan dijalankan, hanyalah merupakan cara untuk memperkuat jalan mempertahankan zona nyaman kehidupan para elite penguasa politik-ekonomi di negeri ini. Hal ini sebenarnya telah terjadi dalam sekian dekade terakhir ini. Artinya dalam kurun waktu sejak bergulirnya era pemerintahan rezim Reformasi hingga sekarang. Rakyat sebagai obyek politik dan ekonomi dalam pembangunan, tetap masih berada dalam lingkaran setan yang semakin kelam.

Memasuki tahun politik jelang Pemilu 2024, politik pemilu yang berorientasi pada tujuan memberi kemenangan pada rakyat (wong cilik-rakyat Marhaen), sudah saatnya menjadi tekad dan agenda bersama paling utama. Para pejuang Marhaenis di kubu Banteng, jangan malah hanyut dalam hingar bingar dukung mendukung si ini-si itu, si A,B,C, tanpa kejelasan program dan arah kepemimpinan masa depan yang seperti apa, dan mau dibawa kemana Indonesia ke depan.?!

Akankah pembiaran Konglomerasi serakah, kerajaan para Oligark yang semakin menguat, berikut perilaku korup, kolutif, nepotis para pejabat penyelenggara negara akan tetap dibiarkan terus hidup tumbuh semakin subur? Bila tidak, dengan cara apa dan bagaimana cara mengatasinya? Janganlah sampai terulang bahwa pemenang sesungguhnya pada setiap Pemilu adalah mereka para pemilik modal, para oligark, penguasa sejati negeri ini!

Dengan kembalinya kaum Banteng pada jati dirinya yang sejati, dipastikan bakal terjadi perubahan paradigma yang mendasar memaknai Pemilu 2024. Dipastikan, rakyat tidak akan histeria dan saling gontok-gontokan untuk hanya menghadirkan PERGANTIAN (yang sudah 5 kali terjadi) tanpa hadirnya PERUBAHAN substansif yang diharapkan.

Sebagai langkah awal, kepada para calon Presiden pemimpin masa depan di republik ini, segera lepaskanlah diri dari predikat ‘petugas partai’. Selanjutnya siap menjadi abdi negara dan petugas rakyat sepenuhnya. Semoga keberanian menyertai Anda..God bless you!

Yang kita inginkan: perubahan,.
Perubahan.
Bukan pergantian.

Perubahan” - Erros Djarot