Jokowi: Dari Zero ke Hero, Jangan Sebaliknya!

Kita sungguh berharap di negeri ini, para pemimpin kita semua dibukakan mata hati, mata batin, mata jiwa dan pikirannya agar kembali mampu membaca dan mendengar suara batin rakyat, yang sesungguhnya dan sebenarnya! Dengan harapan, agar tidak ada lagi peristiwa Sang HERO terlikuidasi dinamika politik terjun bebas ke titik ZERO.

Ilustrasi: Muid/ GBN.top

Dalam catatan sejarah politik Indonesia masa kini, sekelompok komunitas rakyat berperan sangat besar dalam menjadikan seseorang sebagai pemimpin pujaan massa. Bermula dari titik ZERO, sang tokoh digelembungkan hingga besar dan eksis di atas panggung massa rakyat sebagai HERO. Sosok Jokowi adalah figur fenomenal dalam menguatkan catatan ini sebagai bukti sejarah politik di negeri ini. Ia memang berangkat dari titik Zero dan kini eksis sebagai Hero, darling of the people. Bahwasanya para desainer politik di belakang layar menggunakan para buzzer sebagai prajurit terdepan yang sangat berperan dalam menghadirkan fenomena ini, itu merupakan catatan tersendiri.

Apakah fenomena ini baik atau sangat buruk bagi kelangsungan kehidupan demokrasi Indonesia selanjutnya? Pertanyaan ini sepertinya bukan menjadi isu utama. ‘The ends justify the means’ atau ‘The means justify The end’, bagi para desainer politik mashab ‘Jokowisme’ bukanlah merupakan hal yang penting. Berpegang pada sikap praktis pragmatis, sing penting pokoke menang! Sebagai catatan khusus, hubungan antara Jokowi, relawan, dan para buzzer pun, merupakan segitiga mesin politik utama sebagai fenomena baru dalam dunia perpolitikan Nasional. Pemujaan dan puja-puji pada sang pemimpin pun menjadi menu utama dalam panggung politik The making of the President, di Indonesia hari ini!

Di sisi lain, tercatat dalam sejarah pula, pemujaan tidak selalu berjalan selamanya. Dalam jangka waktu tertentu dan dalam situasi dan kondisi tertentu pula, sang pemimpin yang pernah menjadi pujaan massa rakyat, dipelorot dari posisinya sebagai Hero, terjun bebas ke titik Zero. Dalam konteks sejarah Indonesia, mencatat dua nama pemimpin kharismatik bangsa Indonesia yang mengalami nasib buruk ini. Pertama sang Proklamator pemimpin besar revolusi, Presiden seumur hidup, Bung Karno; dan Jenderal besar, Bapak Pembangunan, Suharto.

Dalam kasus Bung Karno, kejayaan puncak sebagai pujaan yang pernah sangat disegani dan dihormati massa rakyat, berakhir di tahun 1965-1966. Sikap keras dan sangat konsisten melawan Blok Barat, sekutu Amerika-Inggris, merupakan penyebab utamanya. Tentu dengan berbagai cara para musuh politik di lingkaran kekuasaannya, yang tak lain adalah para kaki tangan kaum Kapitalis-Imprealis Amerika saat itu, membakar rakyat dengan sejumlah isu jahat dengan menyatakan Sukarno sebagai pembela Komunis yang jahat dan menakutkan. Maka rakyat yang sebulan sebelumnya sangat mengelu-elukan Bung Karno, di bulan berikutnya, kumpulan massa rakyat yang sama dengan lantang meneriakkan seruan…Gantung Bung karno….ganyang Bung Karno ..!!! Sang Hero pun dilorot dengan keji dari posisinya sebagi Hero menjadi Zero habis, bahkan minus.

Hal yang sama walau beda ranah, masalah, dan cara, terjadi pula pada diri Jenderal Besar Suharto. Pada awalnya, lewat olahan tangan-tangan politik Amerika (baca: CIA), Suharto berhasil melengserkan Bung karno. Ia pun menjadi pujaan mahasiswa dan massa rakyat Indonesia. Tumbuh kuat sebagai pemimpin yang sangat ditakuti dan dihormati. Hingga mencapai puncak sebagai pemimpin yang bisa dengan lantang mengatakan..L’Etat, c’est moi…Negara adalah saya! Puja-puji berterbangan dari segala penjuru Nusantara kepada diri Jenderal Besar Suharto. Pada pemujaan puncak, kepadanya disematkan gelar sebagai Bapak Pembangunan. Bertahan selama dua dekade.

Dalam catatan sejarah, Suharto dan peristiwa tragis terjadi di sepanjang tahun 1998. Sang promotor politik Orde Baru, Amerika dan sekutunya, yang sudah mulai tak menyukai kebesaran Suharto yang sangat fenomenal, mulai melancarkan aksinya. Suharto yang mulai tak mudah ‘diatur’ yang berdampak membahayakan posisi penting Amerika dan sekutunya dalam kaitan kepentingan Geo Politik regional-Internasional, mulai menggarap Suharto lewat permainan pasar keuangan (dolar politik) . Krisis moneter ‘98 pun terjadi dan berhasil melumpuhkan kekuasaan Suharto yang selama berkuasa menggunakan juga dunia finansial sebagai senjata politik utamanya.

Dalam situasi krisis ini, para menteri yang sempat dikenal sebagai orang dekat dan pendukung-pembantu setia Suharto, adalah kumpulan politisi yang justru turut mendorong percepatan lengsernya Jenderal besar Suharto dari kekuasaannya. Sejumlah anak didik inti dalam institusi politik Orde Baru, satu-persatu menusukkan pisau politik ke tubuh sang Jenderal Besar dari belakang. Massa rakyat yang lama berjuang menumbangkan rezim Orde Baru dan massa rakyat pendukung rezim Orde Baru pun, bersatu dalam barisan rakyat yang dengan lantang meneriakkan tuntutan..Turunkan Suharto…Adili Suharto…!!! dan sejenisnya. Amok massa dengan suara geram penuh amarah menggema di langit seantero bumi Nusantara, terdengar mirip sebagaimana teriakan massa rakyat turun ke jalan di tahun 1965.

Dengan catatan singkat di atas tentang sejarah politik massa rakyat dan realita politik kekuasaan di negeri ini, sebaiknyalah hal ini menjadi bahan renungan bagi para pemimpin kita hari ini dan yang akan datang. Dukungan massa rakyat yang hari ini begitu membahana, bisa saja dalam sehari berbalik menjadi kumpulan manusia yang berteriak menyuarakan hal yang berbalik, 180 derajat. Apa lagi ketika politik segregasi dan politik identitas yang disertai menjamurnya institusi politik massa rakyat yang bernama Relawan, begitu tumbuh subur menjamur. Tak ada yang sungguh-sungguh rela…karena mereka dengan kesadaran tinggi mengadopsi jargon…there is NO free lunch in politic..alias engga ada makan siang gratis di dunia politik..!

Ditambah lagi, dunia idealisme telah mati dibunuh oleh pragmatisme sempit-matrealistis. Kesetiaan hari ini bukan menjadi ukuran dalam hal kemurnian dukungan terhadap diri seorang pemimpin. Apalagi ketika kemunafikan dan ‘Jilatisme’ menjadi metode meraih kejenjangan status sosial-politik-ekonomi diri seseorang, baik di institusi sipil maupun militer, tumbuh subur sebagai mashab terdepan di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian kepada para pemimpin di negeri ini, jangan lah sekali-kali terbuai dengan riuh rendahnya dukungan dan puja-puji rakyat yang mengelu-elukan Anda. Terlebih kesetiaan dalam bentuk hasil gelembung busa yang begitu massif di produksi oleh para buzzer pembentuk citra politik utama; yang telah berhasil menempatkan Citra politik sebagai realita politik hari ini!

Celakanya, realita politik sesungguhnya baru akan terbaca dan dirasakan oleh massa rakyat di saat krisis terjadi. Sementara krisis sosial politik dalam kehidupan masyarakat dillusional seperti belakangan ini, bisa muncul tak terduga. Terutama ketika rakyat terhenyak dan terbuka mata hati dan pikirannya sehingga mampu menatap dan merasakan realita sosial politik yang sesungguhnya, hari ini!

Kita sungguh berharap di negeri ini, para pemimpin kita semua dibukakan mata hati, mata batin, mata jiwa dan pikirannya agar kembali mampu membaca dan mendengar suara batin rakyat, yang sesungguhnya dan sebenarnya! Dengan harapan, agar tidak ada lagi peristiwa Sang HERO terlikuidasi dinamika politik terjun bebas ke titik ZERO. Semoga..!

Yang kita inginkan: perubahan,.
Perubahan.
Bukan pergantian.

Perubahan” - Erros Djarot