Jokowi, Partai KW 1-2 dan Perdagangan Politik

Sekarang ini para pemilik modal adalah penguasa sesungguhnya dalam dunia politik penyelenggaraan negara tingkat elite di negeri ini. Tangan-tangan mereka sangat aktif mengendalikan roda kendaraan politik di setiap penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Dari tingkat kabupaten/kota hingga pada tingkat permainan The making of the President.

Ilustrasi: Muid/ GBN.top

Seorang mahasiswa program doktoral memberi saya catatan yang menarik. Intinya, meniti karir di dunia politik, tidak harus melalui pintu partai politik. Dulu, ketika yang seharusnya masih menjadi keharusan yang harus dilakukan atau dijalankan, partai politik memang merupakan pintu utama bagi siapa pun yang mau meniti karir sebagai politisi. Tapi belakangan ini, tidak harus, tidak mesti, dan bahkan lebih ekstrim lagi, tidak perlu!

Belakangan ini, khususnya di era pemerintahan Presiden Jokowi, sebuah ‘Partai’ KW 1 & 2 dari komunitas non politik, telah berhasil membuktikan kebenaran catatan di atas . Partai KW-1 ini adalah ‘partai’nya para pengusaha muda (baca: HIPMI). ‘Partai’ baru ini telah berhasil menyabet sejumlah kursi Menteri Pembantu Presiden 2019-2024 dalam Kabinet Kerjanya Jokowi. Perolehan mereka setara dengan apa yang diperoleh partai-partai besar dengan susah payah. Tercatat nama-nama seperti, Erick Thohir, Sandiaga Uno, Lutfi (mantan Menperdag), Bahlil, Rosan Roeslani, mereka ini berhasil tampil sebagai juara. Vini, Vidi, Vici.. saya datang, saya lihat, saya menang! Mereka berjaya tanpa perlu berdarah-darah meniti karir di institusi politik alias partai politik.

Di dunia ‘politik’ ala Jokowi ini, tersedia jalur khusus untuk seseorang dapat dengan cepat menggapai langit politik. Cukup dengan masuk ke lingkaran-1 kekuasaan, membawa tanda bukti porolehan income yang prima, dan mau sedikit berkeringat membantu saat calon Presiden berlaga di arena Pilpres. Niscaya jaminan pintu sukses pun dipastikan terbuka lebar. Jalur khusus serupa walau tak sama adalah jalur massa pendukung setia, sangat militan, dan sanggup kerja keras berkeringat. Kelompok ini tergabung dalam ‘Partai' KW-2 yang terdiri dari kumpulan massa ‘Relawan’ pendukung setia (Jokowi). Hasilnya, Ketua Umum Pro Jokowi (Projo), Budi Arie, berhasil menduduki kursi Menteri Negara (Kominfo).

Lewat ilustrasi di atas, secara tidak langsung Jokowi menebar pesan moral kepada kaum muda; berdaganglah yang giat, kumpulkan uang sebanyak mungkin dengan segala cara dan kemungkinan. Selanjutnya upayakan mendekat atau bahkan masuk ke dalam lingkaran pusat kekuasaan. Dekati siapa pun yang bakal tampil sebagai Calon Presiden, dan jadilah pendukung setia (blind faith). Maju dan pimpin organisasi kumpulan massa pendukung setia dengan baik. Bila kelak kemenangan itu tiba, niscaya jalan pintas menuju kursi menteri dan setingkatnya, dipastikan akan berada di sekitar jangkauan tangan. Setidaknya jabatan komisaris dari sejumlah BUMN yang tersedia, atau penempatan sebagai Duta Besar Luar Biasa, Penasihat Presiden, bakal terbuka lebar.

Pola transaksional dengan memperdagangkan politik semacam ini, dalam jangka panjang bisa jadi bisa membahayakan penguasa di pusat kekuasaan itu sendiri. Pemikiran inilah yang mungkin dulu terlintas dalam benak Presiden Suharto saat berkuasa. Terlepas dari sejumlah kekurangan sebagai pemimpin, namun dalam hal menjaga agar roda penyelenggaraan negara tidak dikendalikan oleh para pedagang dan kelompok massa penekan, keberhasilan Presiden Suharto harus diberi acungan jempol.

Kita masih ingat betapa semasa Orde Baru bermunculan para pebisnis besar yang saat itu dikenal sebagai para Konglomerat. Pedagang besar seperti Om Liem, Prayogo Pangestu, Eka Tjipta, Ciputra, Mochtar Riady..dan lain-lain, saat itu (catatan: hingga sekarang) sangat menguasai perputaran roda ekonomi nasional. Berbagai kemudahan digelontorkan oleh Pak Harto yang membuat mereka menjadi besar dan berdiri kokoh sebagai pilar perekonomian nasional.

Walau demikian, sebesar apa pun keuangan dan kemampuan mereka membeli apa saja dan masuk ke wilayah kerja mana saja, namun satu pintu tetap tertutup bagi mereka, yakni; pintu masuk ke arena permainan politik. Oleh Pak Harto pedagang diposisikan hanya boleh berkutat di wilayah perdagangan. Mereka yang coba-coba bermain politik, langsung disikat, dihabisi dan selesai. Itulah sebabnya untuk terjun ke dunia politik, mereka menjadi tidak berani dan tahu diri.

Bagaimana dengan situasi dan kondisi hari ini? Terjadi perubahan sangat luar biasa. Justru sekarang ini para pemilik modal (baca: konglomerat) adalah penguasa sesungguhnya dalam dunia politik penyelenggaraan negara tingkat elite (pusat) di negeri ini. Mereka justru diundang untuk berkiprah, terlibat, dan bermain di atas panggung politik nasional tingkat tinggi. Tangan-tangan mereka sangat aktif mengendalikan roda kendaraan politik di setiap penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Dari tingkat kabupaten/kota hingga pada tingkat permainan The making of the President.

Bersama mereka, sejumlah petinggi dan pucuk pimpinan partai, berkerjasama saling bahu membahu demi menjaga stabilitas zona nyaman masing-masing. Sehingga pada akhirnya, siapa yang berkuasa dan siapa yang menguasai di antara mereka, sudah begitu tipisnya garis pemisah yang dapat dibaca. Tapi yang pasti, penggabungan kekuatan dua sisi ini (politik dan ekonomi) begitu efektif melahirkan bangunan Oligarki. Para Oligark inilah yang sepenuhnya mengendalikan jalannya penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Sangat menyedihkan. Sehingga sering terdengar suara dari langit..: Mau jadi apa dan mau dibawa ke mana Indonesia dengan peradaban politik yang seperti ini?

Dalam situasi dan kondisi yang sudah sedemikian rupa ini, tidak ada pilihan lain bagi kita sebagai bangsa kecuali kembali ke cita-cita Kemerdekaan 1945. Tentu utamanya dengan menjalankan amanat Pembukaan UUD 1945 secara bersungguh-sungguh, secara baik dan benar. Sedangkan ajakan khusus yang bersifat mendesak dan mendasar adalah memberlakukan dan menjalankan dengan tegas UUD’45 Pasal 33, terutama ayat 2 dan 3, secara murni dan konsekuen. Hanya lewat cara ini penyelesaian untuk mengakhiri dominasi para pengusaha besar-konglomerat hitam, dapat diwujudkan. Agar mereka tidak semakin kuat dan besar oleh sikap ignoran (korup) dari para ‘oknum’ penguasa di negeri ini.

Perampokan dan pemiskinan negara oleh sejumlah ‘oknum’ penguasa penyelenggara negara; harus segera diakhiri. Salah satu caranya; meninjau kembali pemberian lisensi kepada orang perorang, korporasi milik pribadi-pribadi, izin untuk mengeruk dengan bebas kekayaan bumi dan alam negeri ini, seluas-luasnya tanpa batas. Disusul dengan perlunya digelar operasi besar-besaran untuk melakukan auditing atas kewajiban membayar pajak yang selama ini wajib mereka lakukan! Lewat cara ini, akan terbuka lebar pintu mengakhiri manipulasi pajak yang konon selama ini terjadi (kriminal).

Yah…semoga saja para pemimpin papan atas di negeri ini, segera kembali ke jalan yang benar, jalan akal dan nalar sehat. Agar mereka kembali berkemampuan mendengar jeritan penderitaan rakyat kecil yang belakangan ini kian redup dan sayup terdengar. Nyaris menghilang ditelan gelombang gelak tawa para konglomerat yang kian nyaring terdengar, menggema membahana di seantero langit bumi Nusantara. Menyedihkan…! .

Yang kita inginkan: perubahan,.
Perubahan.
Bukan pergantian.

Perubahan” - Erros Djarot