Kesatria 2024: Menang Tanpo Ngasorake

Bila petuah Sunan Kalijogo "Nglurug tanpo bolo, menang tanpo ngasorake" dipegang teguh oleh para Capres kita, niscaya perhelatan Pemilu-Pilpres 2024 akan berjalan mulus, berwibawa, berkelas, dan mencerdaskan. 

Membangun peradaban yang prima, tidak mungkin terwujud tanpa adanya pijakan nilai yang prima pula. Dalam kaitan Pemilu Pilpres 2024, tidak mungkin membuahkan hasil yang prima, berkelas, dan membanggakan, bila tidak ada pijakan nilai yang mendasarinya. Dalam hal ini, ada petuah di tanah Jawa yang baik untuk dijadikan pijakan falsafah berlaga secara kesatria bagi para Calon Presiden (Capres) 2024-2029 yang tengah aktif berlaga di medan pertempuran politik.

Untuk menjadi seorang kesatria unggul dan sejati, seorang ulama besar tanah Jawa, Sunan Kalijogo, pernah menurunkan petuah "nglurug tanpo bolo, menang tanpo ngasorake”. Nah, penggalan petuah Sunan Kalijogo ini rasanya pas untuk diadopsi sebagai pegangan falsafah para Calon Presiden (Capres) saat maju ke medan laga pertempuran politik nasional, Pilpres 2024. Bagi yang tak paham bahasa Jawa, ’nglurug tanpo bolo’ terjemahan bebasnya ’menyerang tanpa membawa, melibatkan, dan atau mengerahkan pasukan’. Sedangkan ’menang tanpo ngasorake’ terjemahan bebasnya ’menang tanpa harus merendahkan dan mempermalukan lawan.’

Bisa dibayangkan bila ketiga Capres kita, Ganjar Pranowo, Prabowo Subiyanto, dan Anis Baswedan, yang dalam diri ketiganya ada tetesan darah Jawa, bersedia menerima wejangan Sunan Kalijogo ini dengan tangan, hati, dan pikiran terbuka. Dipastikan suasana elegan, berbobot, berkualitas, dan berwibawa pasti akan mewarnai perhelatan Pemilu Presiden (Pilpres) di tahun 2024 nanti. Karena dengan pijakan falsafah yang merupakan kearifan lokal ini, proses Pilpres 2024 bisa menjadi pintu baru bagi terbangunnya peradaban politik yang lebih beradab, berkelas dan mencerdaskan.

Untuk itu, dalam memaknai petuah ‘nglurug tanpo bolo’, hendaknya diterjemahkan lewat pemahaman yang mendasar tapi aktual dan cerdas. Dalam hal ini diisyaratkan agar para kesatria (Capres) yang akan berlaga di atas panggung Pemilu 2024, janganlah penyerangan terhadap lawan politik dilakukan dengan mengandalkan pengerahan massa pendukung plus buzzer sebagai modal utama. Terbukti massa pendukung yang sengaja djadikan pasukan penyerang kubu lawan, cenderung hanya bernafsu saling menjelekan, saling menebar kebencian terhadap kandidat Capres lawan, saling caci maki minus etika’, dan pada puncaknya sering terjadi saling bentrok fisik.

Dalam kaitan ini petuah Sunan Kalijogo menitipkan cara agar para kesatria (Capres), saat berhadapan di atas panggung politik nasional, lebih mengandalkan tawaran pemikiran, gagasan, dan program kerja membangun peradaban ke depan yang lebih baik. Ketimbang memperbesar barisan massa pendukung dengan mengobarkan semangat permusuhan yang sangar bergemuruh, sangat bising, tapi kosong makna dan nilai. Atmosfer kehidupan di sepanjang perhelatan pemilu pun pasti akan diselimuti oleh aura negatif yang hanya memompa meningkatnya nafsu rendah manusia.

Dengan mengandalkan adu pemikiran, konsep, gagasan, dan program, kualitas personal para kandidat pun langsung dapat dinilai. Akan teruji dengan jelas ketika saling berhadapan di atas panggung politik nasional; sejauh mana kualitas pribadi masing-masing sebagai calon pemimpin yang layak dipercaya atau sebaliknya. Kondisi seperti ini otomatis secara aktif menuntun massa agar lebih tertib dan lebih diberi ruang dan waktu produktif untuk dapat memaahami tujuan diselenggarakannya Pemilu.

Lewat tuntunan kearifan lokal ini, rakyat pun pasti tak mau lagi digiring secara massal dan masif bergerombol di jalan-jalan, di ruang-ruang publik, dengan meneriakan yel-yel dan puja-puji dukungan pada sang kandidat pilihan. Rakyat menjadi sadar bahwa efek yang ditimbulkan hanya lah kesan sangar tak beradab. Perhelatan Pemilu pun disadari sering berubah menjadi arena adu jangkrik. Lewat kesadaran ini, bandar pengerah massa pun akan kehilangan mata pencahariannya. Karena massa rakyat lebih memilih untuk duduk di depan televisi maupun mendengarkan berita radio mengikuti jalannya Pemilu yang sebagian besar digelar lewat kampanye tertutup.

Dengan sendirinya mereka pun akan mengubah orientasi sebagai massa peserta Pemilu. Dari yang mudah diiming-imingi duit untuk bergerombol turun ke jalan berteriak-teriak berkampanye negativ, menjadi hanya mau berduyun-duyun untuk pergi menuju tempat pencoblosan pada hari H Pemilu digelar. Perilaku massal dalam peradaban baru seperti ini lah yang akan dihasilkan bila falsafah ’nglurug tanpo bolo’ diadopsi ole para kandidat Capres kita pada Pemilu Pilpres 2024.

Sementara memaknai petuah ’menang tanpo ngasorake’ harus dipegang sebagai petunjuk agar dalam berlaga di atas panggung politik Nasional, para kandidat Capres disarankan untuk tidak mencapai kemenangan dengan cara merendahkan dan mempermalukan lawan. Dalam hal saling berhadapan di atas panggung politik Nasional, perdebataan terbuka antar kandidat Capres, sesengit dan sepanas apa pun, hendaknya tetap dilakukan dan berjalan di atas norma dan etika yang tidak mencampur adukan wilayah privat dan wilayah publik.

Masalah personal dan status personal yang masuk dalam wilayah privat, tidak lah pantas untuk dijentreng di ruang publik hanya untuk mempermalukan dan merendahkan lawan politik demi mencapai kemenangan yang bernilai rendah ini. Apalagi ketika masalah Ras dan Agama digunakan menjadi bahan untuk saling menyerang yang lebih cenderung menjadi saling buta nilai. Tak menyadari perbuatan sangat destruktif ini hanya akan merusak persatuan dan kesatuan rakyat sesama warga bangsa Indonesia. Hal yang justru diharapkan terjadi oleh para musuh Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), baik yang ada di dalam maupun di luar negeri sana.

Walau pun demikian, individu kandidat Capres yang dengan bukti otentik terbukti telah melakukan pelanggaran hukum seperti korupsi, pelanggaran HAM berat yang belum pernah terungkap, tidak berarti dilarang kasusnya untuk diangkat ke atas permukaan panggung politik Pemilu Capres. Tentunya dengan catatan, lakukan dengan cara yang tidak melanggar hukum dan etika yang beradab.

Diangkatnya kasus hukum sang lawan, tidak hanya berdasarkan asumsi maupun mengungkit borok lama yang terjadinya sudah jauh sebelum sang Capres maju sebagai kandidat, dan rakyat telah menerima pemutihan dosa secara struktural maupun kultural. Hal yang juga perlu ditabukan adalah mengangkat isu korupsi fihak lawan yang sarat akan rekayasa. Hal mana masih saja terjadi belakangan ini, suatu pola manuver politik yang sungguh bernilai rendah dan biadab.

Bila petuah Sunan Kalijogo sebagaimana terurai di atas dipegang teguh oleh para Capres kita, niscaya perhelatan Pemilu-Pilpres 2024 akan berjalan mulus, berwibawa, berkelas, dan mencerdaskan. Sehingga amanat para pendiri republik yang tersurat dan tersirat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, agar para pemimpin wajib dalam kiprahnya mencerdaskan rakyat, dapat terpenuhi dan diwujudkan secara sistemik dan nyata!

Monggo Mas Ganjar, Mas Bowo, dan Mas Anies, majulah ke medan laga pertempuran politik di arena Pemilu-Pilpres 2024 dengan berpegang teguh pada petuah sang penerang hati, batin, dan pikiran, Sunan Kalijogo "ngelurug tanpo bolo, menang tanpo ngasorake”. Agar peradaban kita sebagai bangsa dapat naik kelas dari bangsa penyandang kualitas kebudayaan kelas B, naik tingkat menjadi bangsa dengan kualitas kebudayaan kelas A, bahkan Prima. Karena para Capres kita menyuguhkan virtuoso performance yang berkualitas, berbobot, dan membanggakan. Semoga!

Yang kita inginkan: perubahan,.
Perubahan.
Bukan pergantian.

Perubahan” - Erros Djarot