Wajib Bijak, Adil, Benar: Siapa Presiden Berikut?

Bila peradaban sudah sampai pada titik di mana seorang Presiden merasa l'etat c'est moi, negara adalah saya, ini merupakan isyarat, sejarah akan mencatat lembaran baru.

Indonesia adalah Negara Kepulauan, Archipelago, dengan ribuan pulau, ratusan suku dan bahasa saling berbeda yang jumlah penduduknya sekarang hampir mendekati angka tiga ratus juta. Oleh karenanya, Indonesia mengharuskan jabatan Presiden wajib diduduki oleh seseorang yang berpikir arif, berperilaku bijak, dan memiliki sifat seperti sosok seorang GuRu. Ketentuan Pemimpin adalah GuRu ini merupakan pakem yang tidak boleh dilanggar.

Dalam istilah orang Jawa, guru itu merupakan sosok seorang pendidik, pencerah, pemberi solusi, bukan sebaliknya. Oleh para muridnya ia harus bisa menjadi manusia yang layak digugu (dipercaya-dihormati) dan ditiru (dicontoh-diteladani). Lebih rasional ketimbang emosional. Bertutur sapa santun, beretika, mau mendengar sekaligus membimbing dan mengarahkan para muridnya untuk berpikir dan bertindak secara cerdas dan benar.

Maka seorang GuRu haruslah sosok manusia yang hangat, ramah, disegani, bisa bergurau, tapi tetap berwibawa dan dihormati. Bergurau di sini dipahami bukan menjadi figur yang lucu, pandai melucu, dan malah menjadi tertawaan para muridnya. Dalam konteks Presiden, para muridnya adalah sosok rakyat yang dipimpinnya.

Nah, bagaimana dengan Indonesia hari ini? Dalam amatan dan pandangan banyak pakar pendidikan, Indonesia tengah kehilangan sosok serang GuRu bangsa. Indonesia hari ini, dalam situasi dan kondisi sangat haus merindukan hadirnya sosok atau figur seorang pemimpin negara yang memiliki sifat seorang GuRu. Seorang figur Kepala Negara dan Kepala Pemerintah yang dapat digugu dan ditiru. Sosok seorang pemimpin yang dapat dipercaya ucapannya, dan diteladani sikap dan perilakunya. Di samping menjadi sosok pemimpin yang menawarkan dan memberi solusi, bukan malah membawa masalah dan bahkan menjadi masalah itu sendiri.

Akhir-akhir ini, sikap seorang Presiden yang berpikir jernih, bersikap adil bertindak bijak dan benar sangat ditunggu dan diharapkan rakyat. Dalam kaitan tahun politik dan jelang perhelatan akbar demokrasi pestanya rakyat, Pemilu-Pilpres, sikap terbuka, adil dan jujur dari seorang Presiden, sungguh sangat diharapkan rakyat. Presiden wajib bersikap netral, jangan justru menjadi pemain di lapangan politik Pemilu-Pilpres. Apalagi malah menjadi promotor dari salah satu kontestan pilpres dan partai tertentu. Celakanya, anak sulung Presiden maju nyalon sebagai Cawapresnya Prabowo. Dalam konteks etika kenegarawanan, sangat tidak pantas, tidak baik, alias nekad karena tak mungkin bisa netral!

Belakangan ini, entah mengapa Pak Jokowi secara langsung maupun tak langsung seperti terus menantang untuk memancing suasana emosional yang mengganggu pikiran rakyatnya. Sebagai contoh, secara demonstratif di tempat umum, ia bertemu dengan salah satu Calon Presiden 2024. Disusul pertemuan dengan salah satu Ketua Umum partai pendukungnya yang juga sengaja dilakukan di tempat umum. Ditambah lagi ‘sengaja’ menghindar hadir dalam acara HUT partai yang membesarkannya. Perbuatan ini semua dengan sendirinya sangat memancing berkembangnya pemikiran dan reaksi negatif dari para pendukung calon yang lain.

Perilaku dan langkah politik Jokowi ini, sangat mengesankan sengaja menantang pihak yang tak sejalan dengannya. Seolah Presiden secara terbuka berseru; kalian mau apa? Saya Presiden, wajar kan bertemu dengan para menteri saya?! Juga harus pergi meninggalkan Indonesia untuk tugas negara?! Oalah… Pak Jokowi, mbok ya jangan terlalu menganggap rakyatmu bodoh, Pak!

Dengan alasan apa pun, peristiwa pertemuan dengan Pak Prabowo, berlanjut bertemu dengan Pak Airlangga yang dengan sengaja dilakukan di ruang publik secara vulgar, sangat kurang pas, tidak benar, dan sangat kurang etis. Akibatnya, citra sebagai seorang pemimpin yang bijak dan adil pun seketika terbang meninggalkan sosok seorang Jokowi. Sebagai akibat, jutaan rakyat yang semula sangat ‘ngeman’, sayang, dan menghormati, dipaksa untuk ngelus dada menahan geram. Bahkan ada yang berlebihan menyuarakan perasaan dan suara batinnya dengan kata-kata ‘muak’ yang kurang pantas ditujukan buat seorang Presiden.

Intinya, secara massal publik menyuarakan pendapat; sangat tidak benar bila seorang Presiden aktif menjadi promotor seorang kontestan pada perhelatan Pilpres-Pemiu 2024 ini. Apalagi lewat kekuasaannya, sangat terbaca dan secara kasat mata menjawil jajaran aparat negara di bawah komandonya untuk aktif mengamankan jago pilihan pribadinya. Secara dialektis, langsung saja rakyat merespons ajakan Pak Jokowi sebagai kepala pemerintah dan kepala negara, agar Pemilu-Pilpres diselenggarakan dan dijalankan secara Jurdil, bebas,dan rahasia, dimaknai publik sebagai lawakan yang tidak lucu.

Suasana miris seperti inilah yang membuat saya terpaksa berkali-kali menyuarakan ajakan bahwa tugas utama yang harus diingat Pak Jokowi sebagai Presiden adalah membangun peradaban. Sebuah peradaban sebagaimana yang sudah dirumuskan dengan baik oleh para bapak bangsa Indonesia dalam Pembukaan UUD 1945. Bahkan telah pula dilengkapi oleh para pelaku gerakan Reformasi yang menekankan pentingnya dibangun peradaban budaya penyelenggaraan negara berbasis Clean Government dan Good government. Sementara anti Kolusi, Korupsi, dan Nepotismme, menjadi pijakan pelaksanaan di wilayah operasional.

Dengan demikian sudah sangat jelas bahwa peradaban yang harus dibangun oleh Presiden Jokowi bukanlah peradaban ‘semau gue’. Bukan peradaban kehidupan bernegara yang membuat Hukum menjadi alat kekuasaan. Akan hal ini, gejalanya dan bahkan sudah wujud sebagai realita di mana seorang Presiden Jokowi lebih menyukai peradaban bernegara yang berkiblat pada kalimat…L’etat C’est moi…negara adalah saya!

Sebagai catatan, bila peradaban bernegara telah sampai pada titik yang demikian, maka keruntuhan dan kejatuhan kekuasaan seorang pemimpin yang bercirikan demikian itu (L’etat c’est moi), hanya tinggal tunggu waktu saja. Apalagi hari-hari belakangan ini, sangat kuat menyiratkan isyarat bahwa sejarah Indonesia akan mencatat sebuah lembaran baru. Karena kata adil, bijak, dan benar, secara perlahan tapi pasti telah meninggalkan pribadi seorang Jokowi, Presiden ke-7 RI.

Pertanyaan berikut, untuk Presiden RI yang ke-8, siapakah yang masuk dalam kategori sosok yang mampu mengemban kata bijak, adil, benar? Juga tentunya yang menjunjung tinggi etika, rasional, tidak emosional, bukan pemarah, apalagi bersumbu pendek. Singkatnya, sosok pemimpin yang mampu menebar kesejukan dan kedamaian. Bukan yang menegangkan dan meresahkan kehidupan rakyat yang dipimpinnya!

Akan hal ini, ada baiknya kita jadikan renungan bersama, tanpa kebencian dan pikiran negatif yang tak sehat. Agar Pada Pemilu-Pilpres 2024, tidak terulang dan kembali berulang, kita memilih pemimpin yang salah. Semoga.

Yang kita inginkan: perubahan,.
Perubahan.
Bukan pergantian.

Perubahan” - Erros Djarot