Desain Politik Kerusuhan 2024, Sebagai Hadiah Tahun Baru?

Merapat dan bersatunya rakyat yang sadar dan waras berpikir dalam satu barisan, merupakan kekuatan yang akan menjawab semua cobaan dan tantangan di tahun resah 2024. 

Ilustrasi: Muid/ GBN.top

Selesai mengucapkan SELAMAT TAHUN BARU 2024, saya langsung bertanya dalam hati; mengapa belakangan ini keresahan semakin menyelimuti kehidupan kita, rakyat Indonesia. Salah satu faktor penyebab utamanya, mungkin karena rakyat berada dalam kondisi tengah kehilangan sang pemimpin pembawa harapan. Pupus sudah harapan. Awan hitam penebar kegelapan telah menenggelamkan sang penebar harapan yang selama ini sempat menjadi pujaan sebagian besar rakyat Indonesia.

Dulu, selama 9 tahun Pak Jokowi sempat bertahan sebagai sang penebar harapan dimaksud. Seorang pemimpin yang pernah menawarkan dan membawa SOLUSI Indonesia ke luar dari kondisi berbagai kebuntuan. Namun secara mengejutkan, tiba-tiba saja beliau menyeberang dan berkiprah sebagai sosok pemimpin yang justru membenamkan diri dalam lingkaran masalah. Jokowi pun kini hadir sebagai MASALAH, dan bukan lagi sebagai SOLUSI.

Sebagai Kepala Pemerintah, belakangan ini Jokowi justru seperti sengaja menebar dan menyulut keresahan massa rakyatnya. Memasuki perhelatan Pemilu Pilpres 2024, manuver politiknya sebagai penguasa tertinggi di Republik ini, justru menampilkan citra sebagai manusia yang kehilangan jati dirinya. Jati diri sebagai pemimpin yang adil dan bijaksana, berdiri di atas semua golongan, sebagai figur panutan yang menjadi idaman rakyatnya.

Seketika bagai setitik nila merusak susu sebelanga, ia merusak kepribadiannya sendiri dengan membiarkan nafsu serakah kekuasaan menguasai dirinya. Tanpa rasa sungkan dan bersalah sedikitpun, ia begitu terkesan all out untuk menuntun dan menenteng Paslon No. 2 bisa mulus melaju menuju istana di tahun 2024 ini. Untuk tujuan itu, ia pun dengan sangat kuat mempertontonkan langkah ‘politik segala cara’ untuk memenangkan pasangan sang putra sulung kesayangan, Gibran dan pasangannya.

Konstitusi, aturan main, etika, bahkan pijakan moral yang seharusnya dijaga, dirawat, dan diberlakukan dalam menjalankan kekuasaannya sebagai Presiden, seperti tak lagi digubris. Sehingga muncul kesan sangat kuat bahwa yang sedang berjalan adalah ‘jargon Jokowi’ dalam mengelola kekuasaannya…Yang aku mau, itulah aturan dan hukum yang harus dijalankan! Sebagai reaksi, ujaran Raja Perancis, Louis XIV pun…L’etat c’est moi (Negara adalah saya), langsung dilekatkan publik pada diri seorang Jokowi.

Akibatnya, ketegangan, keresahan, dan gesekan massa rakyat yang pro dan kontra pun menjadi semakin melebar dan meluas. Intimidasi aparat negara dilakukan secara masif terhadap para aktivis partai pendukung Paslon No. 1 dan 3. Hal yang sama dilakukan juga terhadap para aktivis mahasiswa yang keras bersuara anti politik dinasti, menuntut ditegakkannya demokrasi dan hukum secara adil bermartabat. Terjadi pula aksi brutal secara demonstratif penurunan dan perusakan poster dan baliho (selain milik Paslon No. 2), di berbagai kota. Konon dilakukan oleh aparat penguasa daerah di wilayah setempat. Mereka seperti harus siap menjalankan perintah atasan untuk memusuhi rakyat yang adalah Tuan mereka sesungguhnya. Karena kiblat ibadah mereka pun sudah diubah arahnya, menjadi hanya ke satu arah…istana!

Lebih menyedihkan lagi munculnya peristiwa anti demokrasi yang terjadi baru-baru ini. Di depan markas tentara di Boyolali, Jawa Tengah, segerombolan oknum prajurit TNI telah main hakim sendiri menganiaya massa pendukung Paslon No. 3. Dengan sangat brutal mereka melakukan perbuatan di luar batas kemanusiaan yang beradab. Para oknum prajurit itu menyiksa pendukung Paslon 03 secara buas dan penuh amarah seolah tengah menghabisi musuh abadinya.

Berdasarkan amatan, tak mungkin kebrutalan oknum TNI ini terjadi bila sikap anarkis ini tidak terbangun oleh situasi dan kondisi yang membuat mereka siap menjadi musuh rakyat. Kemungkinan besar mereka memang sengaja dijauhkan dari sejarah lahirnya TNI yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Bukan untuk malah menjadi dan dijadikan sebagai musuh rakyat!

Atas berbagai kejadian panas ini, banyak yang kemudian memprediksi bahwa hari-hari menjelang hari H atau pada hari-hari pasca pencoblosan, bakal terjadi kerusuhan yang cukup besar dan destruktif. Lokasi daerah yang diperkirakan berpotensi besar menjadi arena chaos paling serius dan menakutkan adalah wilayah Jawa Tengah, khususnya kota Solo dan sekitarnya. Penguasaan kota Solo oleh massa rakyat akan dijadikan sebagai pernyataan politik bahwa Solo bukan milik Gibran dan dinasti Widodo semata.

Sementara di sisi lain, pihak dinasti Widodo dan pendukungnya, termasuk para loyalis buta dan oknum tentara non Sapta Marga dan Sumpah Prajurit, pasti diperintahkan bersiaga. Siap untuk melakukan perlawanan membentengi kekuasaan sang putra mahkota, Gibran. Maka ketika massa rakyat prodemokrasi yang anti politik dinasti merangsek maju, bentrok fisik pun menjadi tak terhindarkan. Karena tercatat dalam buku sejarah politik, warga Solo dan sekitarnya terkenal sebagai massa rakyat beraliran ‘sumbu pendek’. Selanjutnya, ketika Solo bergerak, massa rakyat di wilayah Jabodetabek pun akan menyusul. Berlanjut ke kota-kota lain yang sudah lama dalam keadaan memanas.

Pertanyaan mendasarnya; haruskah untuk membangun politik dinasti yang belum tentu terwujud dan membawa manfaat, keutuhan NKRI dan masa depan bangsa sebagaimana amanat Pancasila dan UUD’45 (yang asli) dipertaruhkan? Lalu negara atau model negara seperti apa yang akan dibangun dan yang ada dalam benak Pak Jokowi sekarang ini? Apakah sebuah negara yang penyelenggaraan negaranya berdasar pada semangat KKN? Di mana Nepotisme, Korupsi dan mafia politik-ekonomi tumbuh subur di mana-mana mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara?

Serentetan pertanyaan di atas inilah pada dasarnya yang membuat suasana kehidupan bangsa belakangan ini, dilanda keresahan yang berdampak telah menggerus harapan. Terlebih ketika banyak dari mereka yang dulu pernah menamakan diri sebagai pejuang Demokrasi dan Reformasi, bahkan ada di antaranya para pemuka agama, ikut larut dalam arus kehidupan manusia gelap mata dan pikiran yang lupa ingatan dan tujuan. Mereka seakan rela menjual diri walau harus kehilangan jati diri dan harga dirinya sebagai manusia yang ditinggalkan akal sehat, menjadi pecundang sempurna…selamanya!

Yah, walau sangat dahsyat badai muslihat dan perusakan kehidupan berbangsa dan bernegara datang bertubi-tubi menjelang dan memasuki tahun baru 2024, jangan sampai sedetik pun kita kehilangan harapan. Yakni, kedzoliman pasti tumbang, dan kebenaran pasti menang. Suara rakyat, adalah suara Tuhan. Tentunya bukan rakyat yang masuk dalam barisan rakyat bayaran, melainkan rakyat yang rela membayar dengan segala yang ia punya, untuk mewujudkan kemenangan rakyat Indonesia sejati dan sesungguhnya.

Merapat dan bersatunya rakyat yang sadar dan waras berpikir dalam satu barisan, merupakan kekuatan yang akan menjawab semua cobaan dan tantangan ini. Dan sebagai catatan buat penguasa: Rakyat Indonesia mengharapkan kejujuran, keadilan, dan Kedamaian. Bukan Keresahan dan Kerusuhan..!

Insyaallah Tuhan akan selalu bersama Rakyat. Bersama Tuhan rakyat tak pernah menyerah dan pasti menang, amin.

SELAMAT TAHUN BARU 2024.

Yang kita inginkan: perubahan,.
Perubahan.
Bukan pergantian.

Perubahan” - Erros Djarot