Banyak teman yang belakangan ini mendatangi saya hanya sekadar untuk curhat. Tema utama curhatnya: belakangan ini mereka dibuat gamang oleh tayangan dari berbagai Lembaga Survei yang mempublikasikan hasil surveinya. Agaknya peristiwa semacam ini merupakan gejala umum yang berkembang dalam kehidupan masyarakat kelas menengah. Terutama di kalangan masyarakat yang buta informasi bahwa hampir semua Lembaga Survei itu sebuah badan usaha bersifat komersil.
Wajar bila sejumlah Lembaga Survei bekerja sesuai pesanan dari yang memberi kerja, pengguna jasa. Dengan sendirinya, memberi servis yang membuat pengguna jasa terpuaskan, merupakan fatsun dan tujuan utamanya. Terbukti, mayoritas Lembaga Survei pada Pemilu-Pilpres 2024 ini, sudah banyak yang sepenuhnya merubah fungsi. Dari Lembaga Survei, menjadi semacam badan pemenangan Partai maupun Capres-Cawapres tertentu, sebagai fihak penyandang dana.
Dalam situasi yang seperti ini, mengharapkan hasil survei yang menjunjung tinggi objektivitas, sangatlah naif. Kenaifan ini sudah terhitung sebagai korban yang terjerat masuk dalam lingkaran pembodohan. Oleh karenanya, memutuskan untuk sementara mengambil jarak dari statistik angka-angka hasil survei yang disebar berbagai Lembaga Survei (partisan), merupakan langkah strategis yang dapat membantu diri untuk memenangkan kembali akal sehat kita. Setidaknya terhindar dari kebiasaan mengkonsumsi ‘pil koplo’ politik yang masif disebar oleh berbagai Lembaga Survei (partisan).
Memang, pada awalnya, di Pemilu 1999, kehadiran Lembaga Survei merupakan harapan sebagai pembaharu penopang pelaksanaan pesta demokrasi yang sehat. Saat itu, Lembaga Survei masih merupakan institusi independen, prodemokrasi.
Berfungsi sebagai institusi yang membantu masyarakat untuk secara apa adanya mengetahui apa, siapa, dan mana partai yang menjadi pilihan publik terpopuler. Masyarakat pun terbantu untuk mengetahui kondisi objektif pasar politik jelang dan saat Pemilu digelar.
Sekarang ini, kedudukan, peran, dan fungsi dari sejumlah Lembaga Survei yang hari ini beroperasi, sudah jauh berbeda dari awal kehadirannya. Semboyan ‘Maju tak gentar membela yang bayar’ sangat pas untuk menggambarkan etos dan sikap kerja dari sebagian besar Lembaga Survei sekarang ini. Walau tentunya masih ada satu-dua yang layak untuk dipercaya hasil surveinya dilakukan secara objektif apa adanya.
Sejauh itu pun hasil survei dan kajian mereka tidak harus sepenuhnya diterima secara absolut benar adanya. Apalagi ketika keadaan pasar poitiik berjalan sangat dinamis dan begitu berubah-ubah kondisinya. Tanpa kepastian dan sangat tak menentu, karena mana yang hoaks dan mana yang benar berada dalam satu keranjang. Semua keranjang berlabelkan: ‘Hasil survei dilakukan dengan metode akademis dan kajian yang ilmiah’.
Bila dicermati secara lebih jauh dan lebih teliti, hasil survei yang disuguhkan lewat pendekatan dan tujuan apa pun, lebih merefleksikan kondisi elektoral masyarakat kelas menengah perkotaan dan urban kota. Sehingga sering terjadi elektabilitas lewat angka persentase yang digelontorkan Lembaga Survei terhadap pasangan Capres dan Cawapres tertentu, bertolak belakang dengan realita suara rakyat yang ditangkap langsung dalam kehidupan sehari-hari masyarakat pedesaan dan perkampungan.
Di sisi lain, tebaran money politic ke masyarakat menengah bawah secara masif oleh para operator lapangan (aparat negara) pro kandidat Capres-Cawapres tertentu, bisa mengubah persentase hasil survei. Dari yang sebelumnya jeblok menjadi kinclong bersinar. Contoh konkrit, terjadi pada salah satu Cawapres. Hanya dalam waktu kuang lebih 100 hari, elektabilitasnya bisa melejit dari posisi 0,1% menjadi 81%. Tapi celakanya, bukan tidak mungkin angka ini secara ekstrim anjlok drastis ketika terjadi perubahan situasi politik yang tidak kondusif bagi para pemain di jalur ‘hitam’!
Sehingga untuk pemilu kali ini, terkhusus pilpres, hanya lewat kecurangan yang sudah dirancang dan dibangun secara tertata dan terkendali, pasangan Capres dan Cawapres tertentu berani mencanangkan target menang satu putaran. Untuk mencapai kemenangan yang telah dirancang secara tertata dan terkendali ini, hanya satu persyaratan yang dibutuhkan: KEKUASAAN.
Hanya mereka yang berkuasalah yang berpeluang untuk melakukannya. Artinya, seluruh alat dan perangkat negara, berikut aparat sipil dan militer sebagai pelaksana lapangan, bekerja sesuai perintah atasan secara berjenjang. Dari penguasa di tingkat desa, kabupaten-kota, hingga pusat. Dari kantor Lurah, Bupati, Gubernur, hingga kantor Presiden tentunya.
Pertanyaannya, apakah para bawahan dari desa hingga kota, provinsi dan pusat, sepenuhnya akan setia menjalankan perintah para atasan mereka? Artinya seluruh Lurah, Camat, Bupati, Gubernur dan pejabat militer dalam tingkatan yang sama, sepenuhnya akan patuh dan setia buta menjalankan perintah atasan mereka yang bermuara di Istana sebagai pusat komando?
Hal ini, secara pribadi saya sangsikan. Mengingat rentang waktu yang masih cukup panjang, sekitar 70-an hari, untuk sampai ke hari 'H', hari pencoblosan berlangsung. Dengan dinamika yang tinggi dan tingkat kepercayaan rakyat terhadap suara istana yang terus menurun, segala sesuatu bisa terjadi. Termasuk hal yang sama-sama tidak kita harapkan bersama sekalipun!
Krisis kepemimpinan, dan menipisnya kepercayaan rakyat pada pemimpin, merupakan pintu pembuka yang mengundang terjadinya berbagai kemungkinan. Apalagi ketika pernyataan Indonesia tidak sedang dalam keadaan baik-baik saja semakin nyaring terdengar menggema di seantero bumi Nusantara. Hal ini sangat mungkin, perlahan tapi pasti, akan tertangkap juga oleh telinga hati nurani dan batin para petugas negara (bawahan) yang menjadi terpanggil untuk menuruti kata dan suara hati nuraninya!
Apalagi ketika masyarakat sudah lebih pandai dan menolak penjejalan ‘pil koplo’ politik dari para pengelola Lembaga Survei yang belakangan aktif menjadi juru kampanye Capres dan Cawapres tertentu. Tentunya akan bertambah membuat kemungkinan tak terduga terjadi ketika rakyat terbangun dari penina-boboan selama ini yang menjauhkan mereka dari realita politik yang sesungguhnya.
Jargon dalam kehidupan masyarakat di Jawa…"becak kethitik olo ketoro”, dan pepatah umum yang berbunyi… “Siapa yang menebar benih, pasti akan menuai!”…merupakan hukum alam yang masih dipercaya kebenarannya oleh sebagian masyarakat kita, terutama di Jawa. Terlebih diperkuat dengan keyakinan yang masih dipegang teguh masyarakat luas di seluruh penjuru negeri ini…Tuhan tidak tidur, Gusti Allah mboten sare!
Kebenaran tidak pernah berbohong. Ia hanya bisa dimanipulasi. Termasuk di antaranya lewat penyebaran ‘pil koplo’ politik dari Lembaga Survei partisan, musuh demokrasi sejati!.